tugas bank dan lembaga keuangan

PERKEMBANGAN PERBANGKAN DIINDONESIA

1) PERIODE 1983 – 1988
Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Bank Indonesia tetap berdasarkan Undang- Undang (UU) No. 13/1968 tentang bank sentral dan beberapa pasal dalam UU No. 14/1967 tentang perbankan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terjadi perubahan fundamental karena segala kebijakan yang dilaksanakan Bank Indonesia dilakukan berdasarkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan pemerintah. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kondisi perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik karena faktor eksternal maupun internal. Kemampuan pemerintah untuk menopang dana pembangunan semakin berkurang, untuk itu dilakukan perubahan strategi untuk mendorong peranan swasta agar lebih besar. Dampak dari over-regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor moneter, khususnya perbankan, melalui kebijakan 1 Juni 1983 selain itun juga tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor. Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim persaingan antar bank. Banyak bank, terutama bank swasta, mulai bangkit untuk mengambil inisiatif dalam menentukan arah perkembangan usahanya.
Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Pemberian izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal Rp 100 juta. Namun demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan.
 KESIMPULAN
Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kondisi perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik karena faktor eksternal maupun internal selain itu juga tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor. Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim persaingan antar bank Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972 Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88 BI secara intensif memulai pengembangan bank-bank sekunder salah satunya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang bertujuan untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan.

2) PERIODE 1989 – 1996
Kebijakan tahun 1989 Memuat peleburan usaha (merger) & penggabungan usaha bank umum swasta nasional, bank pembangunan, BPR, penyempurnaan ketentuan pendirian & usaha BPR, pemilikan modal campuran, penggunaan tenaga kerja professional WNA.Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya selain itu juga Kelanjutan Pakto 27 1988 Berkaitan dengan ketentuan pengaturan perbankan dengan prinsip prudential, Pengawasan & pembinaan kredit dilakukan dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat & efisien. Pemisahan antara pemilikan bank & manajemen bank secara professional
Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian Pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana.
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing. Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.
Setelah berjalan lama, Pakto 88 mulai menampakkan dampak negatifnya.Kebebasan perbankan terutama dalam bank devisa, yang menghambat terciptanya sistem perbankan yang sehat. Sejak 1995, mulai memperberat syarat ketentuan untuk menjadi bank devisa, meski langkah tersebut belum bisa menahan laju pertumbuhan perbankan. Pada 1996, sebagai upaya untuk menekan ekspansi kredit perbankan yang dianggap sebagai pemicu memanasnya mesin perekonomian, diterapkan kembali kebijakan moral suasion dengan cara menghimbau bank untuk menekan laju ekspansi kreditnya.


 KESIMPULAN

Kebijakan tahun 1989 Memuat peleburan usaha (merger) & penggabungan usaha bank memasuki tahun 1990-an BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya selain itu juga Kelanjutan Pakto 27 1988 berkaitan dengan ketentuan pengaturan perbankan dengan prinsip prudential, Pengawasan & pembinaan kredit dilakukan dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat & efisien. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967 Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR dan juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian Pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank. Pada periode 1992-1993 perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama Setelah berjalan lama, Pakto 88 mulai menampakkan dampak negatifnya.Kebebasan perbankan terutama dalam bank devisa, yang menghambat terciptanya sistem perbankan yang sehat. , sebagai upaya untuk menekan ekspansi kredit perbankan yang dianggap sebagai pemicu memanasnya mesin perekonomian, diterapkan kembali kebijakan moral suasion dengan cara menghimbau bank untuk menekan laju ekspansi kreditnya.



3) PERIODE 1997 – 1998
Mulai 1997 walaupun ekpansi kredit perbankan mulai dapat ditahan, namun perkembangan usaha perbankan menjadi lebih sulit dikendalikan. Untuk itu, BI telah berencana untuk melikuidasi tujuh bank yang ternyata belum mendapat restu dari pemerintah. Berbagai macam Era krisis moneter dimulai, diawali krisis nilai tukar pada pertegahan 1997 .PDB pada tahun 1998 turun hingga -13,68%, pada tahun 1997 PDB sebesar 4,65%, Laju inflasi melonjak menjadi 77,63%, dibandingkan 11,05% pada tahun 1997 Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi perbankan nasional rentan terhadap gejolak ekonomi adalah
 Adanya jaminan terselubung dari BI atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistematik, dalam industri perbankan telah menimbulkan moral hazard pemilik & pengelola bank
 Besarnya pemberian kredit & jaminan secara langsung atau tidak lansung kepada individu atau kelompok menyebabkan kredit macet & pelanggaran BMPK
 Lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan kualitas aktiva produktifnya & peningkatan risiko yang dihadapi bank
 Memberikan BLBI
 Rekapitalisasi di sektor perbankan & sektor riil dengan memperoleh dukungan teknis & keuangan dari IMF
Dan kemudian diadakan Pemulihan Perbankan yaitu Semakin meningkatnya penarikan dana masyarakat dari perbankan,Jumlah bank yang mengalami kesulitan bertambah, yang berakhir dengan pengambilalihan atau bank take over (BTO), Pembekuan Kegiatan Operasional (BBO), Pembekuan Kegiatan Usaha (BBU), Penandatangana LOI dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998 dan Upaya pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.

 KESIMPULAN
Walaupun ekpansi kredit perbankan mulai dapat ditahan namun perkembangan usaha perbankan menjadi lebih sulit dikendalikan salah satu faktor penyebabkan kondisi perbankan nasional rentan terhadap gejolak ekonomi Adanya jaminan terselubung dari BI atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistematik, dalam industri perbankan telah menimbulkan moral hazard pemilik & pengelola bank Dan kemudian diadakan Pemulihan Perbankan yaitu Semakin meningkatnya penarikan dana masyarakat dari perbankan


4) PERIODE 1999-2002
Krisis perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 – 1998 memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Langkah penting yang dilakukan sehubungan dengan itu adalah:
a) Memperkuat kerangka pengaturan dengan menyusun rencana implementasi yang jelas untuk memenuhi 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision yang menjadi standard internasional bagi pengawasan bank
b) Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real Time Gross Settlements (RTGS)
c) Menerapkan bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat di bank
d) Merekstrukturisasi kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa Jakarta maupun Indonesian Debt Restrukturing Agency (INDRA)
e) Melaksanakan program privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan bank‐bank yang direkap
f) Meningkatkan persyaratan modal bagi pendirian bank baru.



 KESIMPULAN

Krisis yang parah tahun 1997 – 1998 memaksa memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis Langkah penting yang dilakukan sehubungan dengan itu salah satunya adalah Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real Time Gross Settlements (RTGS



5) PERIODE 2002 – 2010

Berbagai perkembangan positif pada sektor perbankan sejak dilaksanakannya program stabilisasi antara lain tampak pada pemberian kredit yang mulai meningkat pada inovasi produk yang mulai berjalan, seperti pengembangan produk derivatif (antara lain credit linked notes), serta kerjasama produk dengan lembaga lain (reksadana dan bancassurance)



 KESIMPULAN

Dalam periode 2002 – sekarang adanya pengembanagn positif dalam sector perbankan sejak dilaksanakannya program stabilisasi tampak pada pemberian kredit yang mulai meningkat pada inovasi produk yang mulai berjalan


Sumber:
www.google.com

tugas 2

 Bagaimana Koperasi Menghadapi Pasar Global ????

Globalisasi menggambarkan proses percepatan interaksi yang luas dalam bidang politik, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Globalisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan multi lapis dan multi dimensi proses dan fenomena
hidup yang sebagian besar didorong oleh Barat dan khususnya kapitalisme beserta niai - nilai hidupnya dan pelaksanaannya. Dilihat dari kacamata ekonomi, esensi globalisasi pada dasarnya adalah peningkatan interaksi dan integrasi di dalam perekonomian baik di dalam maupun antar negara, yang meliputi aspek-aspek perdagangan, investasi, perpindahan faktor-faktor produksi dalam bentuk migrasi tenaga kerja dan penanaman modal asing, keuangan dan perbankan internasional serta arus devisa.
Pada sisi lain, era globalisasi dan perdagangan bebas (era reformasi) yang disponsori oleh kekuatan kapitalis membawa konsekuensi logis antara lain semakin ketatnya persaingan usaha diantara pelaku-pelaku ekonomi berskala internasional. Banyak pihak mengkritik, bahwa konsep perdagangan bebas cenderung mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan mengabaikan perbedaan kepentingan ekonomi antara berbagai strata sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam sistem perdagangan bebas tersebut perusahaan-perusahaan multi nasional yang dikelola dengan mengedepankan prinsip ekonomi yang rasional, misalnya melalui penerapan prinsip efektifitas, efisiensi dan produktifitas akan berhadapan dengan, antara lain, koperasi yang dalam banyak hal tidak sebanding kekuatannya. Oleh karena itu agar tetap survive, maka koperasi perlu diberdayakan dan melakukan antisipasi sejak dini, apakah dengan membentuk jaringan kerjasama antar koperasi, melakukan merger antar koperasi sejenis, atau melakukan langkah antisipatif lainnya.
Kiprah Koperasi Secara obyektif disadari bahwa disamping ada koperasi yang sukses dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya, terdapat pula koperasi di Indonesia yang kinerjanya belum seperti yang diharapkan. Koperasi pada kategori kedua inilah yang memberi beban psikis dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan akan manfaat berkoperasi. Ada beberapa contoh untuk lebih meyakinkan bahwa sesungguhnya sistem koperasi mampu untuk mengelola usaha dengan baik, menyejahterakan Koperasi di Jerman, misalnya, telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa, sebagaimana halnya koperasi-koperasi di negara-negara skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa negara maju, misalnya Singapura, Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut. Bahkan di beberapa negara maju tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya.
a)Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi
masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Peran koperasi ini juga
terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari
bentuk lembaga lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit
dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan
prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Juga dapat dilihat
pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat
untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
b)koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi ini
masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik
dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota dengan koperasi adalah
karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan
yang lebih baik.
c)koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini
dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada
berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan
anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.

Sektor-sektor usaha kecil di Indonesia perlu diberi kesempatan untuk berperan lebih banyak. Keistimewaan koperasi tidak dikenal adanya majikan dan buruh, serta tidak ada istilah pemegang saham mayoritas. Semua anggota berposisi sama, dengan hak suara sama. Oleh karena itu, apabila aktivitas produksi yang dilakukan koperasi ternyata dapat memberi laba finansial, semua pihak akan turut menikmati laba tersebut. untuk mengembangkan koperasi banyak hal yang perlu dibenahi, baik keadaan internal maupun eksternal. Di sisi internal, dalam tubuh koperasi masih banyak virus yang merugikan. Yang paling berbahaya adalah penyalahgunaan koperasi sebagai wahana sosial politik. Manuver koperasi pada akhirnya bukan ditujukan untuk kemajuan kopearasi dan kesejahteraan anggota, mealinkan
untuk keuntungan politis kelompok tertentu Dari sisi eksternal, terdapat semacam ambiguitas pemerintah dalam konteks pengembangan koperasi. Karena sumberdaya dan budidaya koperasi lebih di alokasikan untuk menguraikan konflik-konflik sosial politik, maka agenda ekonomi kOnkret tidak dapat diwujudkan. Koperasi jadi impoten, di mana fungsi sebagai wahana mobilisasi tidak dan perjuangan perekonomian rakyat kecil tidak berjalan.

http://koperasi-ditengah-kapitalisme-global.html
www.google.com